Selasa, 18 Desember 2012

Sejarah Krueng Panjoe

Peristiwa Krueng Panjoe Perang melawan Jepang juga terjadi di Krueng Panjoe, Bireuen. Peristiwa itu terjadi ketika dua batalyon tentara Jepang diangkut dari Lhokseumawe ke Bireuen pimpinan komando Mayor Suzuki. Batalyon ini sejak awal ditempatkan di Lhokseumawe, tapi satu kompi di antaranya dipulangkan ke Medan diganti dengan kompi lain dari Lhoksukon. Batalyon yang dipimpin Mayor Suzuki berasal dari mantan batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo dengan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua Batalyon ini dinamai Suzuki Butay karena dipimpin Mayor Suzuki. Jepang ingin kembali menduduki beberapa tempat di Bireuen yang banyak menyimpan senjata dan perbekalan perang. Lokasi yang dituju Jepang antara lain: Teupin Mane, Geulanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan Kota Bireuen. Mereka akan menggali timbunan senjata untuk diserahkan pada sekutu di Medan. Di Cot Gapu terdapat terdapat lapangan terbang darurat yang sebelumnya dijadikan resimen induk Jepang yang memasok kebutuhan logistik militernya. Di sana waktu itu masih tersimpan logistik dan senjata Jepang termasuk tank yang onderdilnya sudah dipreteli. Malah dari sekian banyak tank di situ, delapan diantaranya masih bisa difungsikan setelah diperbaiki oleh montir M Yusuf Ahmad. Sebelum 1000 pasukan Jepang sampai ke Cot Gapu untuk mengambil kembali persenjataannya. Pemuda pejuang dan rakyat menghadangnya di kawasan Krueng Panjoe. Dipilihnya Krueng Panjoe sebagai lokasi penghadangan karena sangat cocok untuk melakukan pengepungan karena dilintasi jalur kereta api. Pasukan Jepang yang diangkut dengan kereta api cocok dihadang di tempat tersebut. Selain itu, Krueng Panjoe berada di daerah persawahan di sana terdapat tanggung besar yang digunakan untuk mengairi sawah. Tanggul itu bisa dijadikan sebagai pertahanan. Rel kereta api di Kampung Pante Gajah dekat Krueng Panjoe sekitar tiga kilometer sebelum masuk Stasiun Kereta Api di Matang Geulumpang Dua di bongkar. Pukul 20.30 siang, 24 November 1945, ketika kereta api terperosok tentara Jepang pun diserang dari berbagai sisi. Pertempuran berlangsung dari siang sampai malam. Subuhnya tentara Jepang menggali lobang perlindungan. Tentara Jepang terkurung. Rakyat Krueng Panjoe bersama pasukan Angkatan Perang Indonesi dan Tentara Kemanan Rakyat (API/TKR) terus menggempur. Bersamaan dengan itu pintu bendungan dibuka, alir mengalir deras ke sawah. Lubang-lubang perlindungan yang digali Jepang penuh dengan air. Mereka terendam dalam persembunyian. Meski demikian, pertempuran terus berlangsung sampai sore hari. Pada hari ke tiga, 26 November 1945 pukul 12.50 tentara Jepang mengibarkan bendera putih di gerbong kereta api. Jepang menyerah. Pimpinan pasukan Jepang Mayor Ibihara dan juru bicara Muramoto keluar dari gerbong kereta api dengan bendera putih di tangan. Setelah melakukan perundingan Mayor Ibihara tewas. Ia melakukan harakiri (bunuh diri) akibat kekalahan pasukannya itu

0 komentar:

Posting Komentar